Follow Us

Minggu, 11 Maret 2012

harapan palsu.

Baru-baru ini, gue nonton film Cruel Intentions. Waktu itu kebetulan filmnya lagi ditayangin oleh salah satu stasiun televisi berbayar yang khusus menayangkan film-film Hollywood. Rasa penasaran gue memuncah, karena di film itu Ryan Phillipe dan Reese Witherspoon main bareng (waktu itu, mereka lagi anget-angetnya pacaran). Plus, gue emang ngefans sama Reese nya.



Cruel Intentions bercerita tentang sekumpulan murid SMA kaya di New York City. Ketika Annette Hargrove, seorang gadis yang dengan bangga memproklamirkan keperawanannya pindah ke sekolah mereka, Sebastian Valmont dan saudara tirinya, Kathryn Merteuil, memasang taruhan. Sebastian yang terkenal sebagai playboy bertaruh kalau dia dapat menaklukkan Annette. Kathryn, di lain pihak, meragukan Sebastian.

Ekspektansi gue terhadap film ini tentu tinggi. Karena setau gue film ini sangat terkenal pada masanya dan sempat menempati chart box office. Jajaran pemainnya juga tampak meyakinkan (Sarah Michelle Gellar, Ryan Phillipe, Reese Witherspoon, Selma Blair).

Tapi dua puluh menit film berjalan, gue merasa.......JLEB.

Ekspektansi gue sama sekali gak tercapai. Mendekati pun enggak. Hal pertama yang bikin gue agak gemes adalah akting pemainnya. Ryan Phillipe terlihat terlalu kaku. Ekspresi wajahnya terlihat mati, datar. Bahasa tubuhnya juga kaku seperti robot. Akting Sarah Michelle Gellar buat gue juga terlalu berlebihan (lebay). Memang karakternya merupakan 'playgirl' yang nakal, tapi menurut gue bahasa tubuhnya gak natural. Dalam hati, gue berkata "Gak gitu juga kaliiiiiii!"

Kedua, plot line nya kok...ehm, mirip sinetron ya. Menurut gue sih gag-worthy. Tapi bagi yang memang benar-benar ngefans berat sama si ganteng Ryan Phillipe, Sarah Michelle Gellar, Reese Witherspoon dan Selma Blair; atau yang memang suka dengan film yang bertabur bintang-bintang yang rupawan; atau yang sangat menyukai kisah cinta super tragis nan melankolis, mungkin akan sangat menikmati film ini.

Tragedi asap di angkot

Dua hari yang lalu, gue ketemu dengan seorang kakek-kakek yang mengingatkan gue pada almarhum kakek gue sendiri. Wajah mereka mirip satu sama lain; keduanya memiliki garis rahang yang cukup tegas dan dagu yang agak runcing.

Saat itu gue sedang berada di mikrolet. Kebetulan hari itu gue harus pulang sendirian karena teman-teman gue masing-masing mempunyai urusan sepulang sekolah. Biasanya kami menaiki mikrolet bersama-sama.

Menit ketiga perjalanan, indra penciuman gue kemudian menangkap bau yang mengganggu. Tenggorokan gue juga gatal. Dada gue mulai sesak. 'Seseorang di mikrolet ini pasti abis mengembuskan asap rokoknya nih', batin gue, jengkel.

Tadinya gue pikir supir mikrolet itulah yang sedang merokok, karena ini bukan pertama kalinya gue terganggu dengan kepulan putih mematikan itu waktu naik mikrolet. Tapi waktu gue menoleh ke arah kursi supir, gue gak ngeliat adanya rokok di dekat si abang. Tidak di tangannya, dan tidak pula di dasbor.

Saat itu, gue masih berpikir kalo yang merokok memang supir itu, tetapi dia udah ngebuang rokoknya keluar sebelum gue sempat menengok. Gue pun kembali duduk dengan manis, bermain dengan jemari gue, iseng, karena gak ada teman buat ngobrol selama perjalanan.

Tapi kepulan putih itu kembali berkibas di depan muka gue, sekitar dua menit kemudian. Kali ini ketika gue menoleh, akhirnya gue dapat juga siapa biang keroknya. Ternyata dia adalah kakek itu, yang tadi gue bilang mirip almarhum kakek gue.

Beliau memang mirip almarhum kakek gue, tapi ternyata hanya sebatas fisik. Gue memang gak punya banyak kenangan sama kakek, karena gue baru berumur 8 tahun waktu kakek meninggal. Dan keluarga gue juga baru pindah lagi ke rumah kakek beberapa bulan sebelum kakek meninggal. Saat itu, kakek udah duduk di kursi roda dan harus dibantu untuk melakukan seluruh aktivitasnya.

Gue memang gak mengenal kakek gue begitu dalam, tapi gue cukup mengenalnya untuk tahu kalau kakek gue gak akan merokok di tempat umum seperti doppelganger-nya itu. Kakek memang bukan perokok, tapi gue yakin seratus persen, kalaupun beliau perokok, beliau pasti akan berpikir lebih dari dua kali sebelum mengganggu orang lain. Kakek pasti gak akan mau membagikan maut kepada orang lain.

Jujur, gue gondok banget sama perokok yang gak peduli sama orang-orang di sekitarnya. Kalau kalian mau meracuni diri sendiri, silahkan. Itu hak asasi kalian. Tapi jangan ngajak-ngajak orang lain juga. Pernah gue nonton sebuah tayangan berita tentang gimana para perokok di New York selalu merasa malu saat ada orang yang memergoki mereka sedang menghisap barang itu. Mereka pasti akan langsung mematikan rokok itu kemudian membuangnya, atau setidaknya menyembunyikan rokok yang mereka pegang dan kabur ke tempat lain yang lebih sepi untuk merokok.

Coba di Jakarta orang-orang juga punya rasa malu setinggi itu. Dan coba aja semua orang punya kesadaran seperti kakek gue...